URGENSI SUJUD DALAM MENEKAN GEJOLAK EGO - MA'RUF ZAHRAN SABRAN
URGENSI SUJUD DALAM MENEKAN GEJOLAK EGO
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Sujud adalah posisi penting dalam rangkaian
ibadah salat. Menyamakan kedudukan kepala dengan telapak kaki. Untuk
mendapatkan karakter terendah di bumi. Kecuali itu, sujud adalah tanda
keberimanan seseorang kepada Allah Swt dan keberimanan kepada negeri-negeri
akhirat. Orang yang tidak mau sujud di dalam dan di luar salat, penciri
kekurangan iman atau kekosongannya. Dalam salat, sujud merupakan rukun gerakan
seperti qiyam, rukuk, i'tidal, sujud, duduk diantara dua sujud (duduk
iftirasy), duduk tahiyat awal dan akhir. Penutupnya ialah salam kekanan dan
salam kekiri. Tunai sudah perintah salat. Namun yang akan dikupas dalam
literasi kali ini adalah tema urgensi
sujud dan hikmahnya dalam menekan gejolak ego (diri).
Disamping bahwa sujud adalah destinasi wisata
rohani. Dalam arti, sujud berindikasi mengurangi gejala stres (relaksasi).
Relaksasi raga dan jiwa. Dimensi raga, sujud dalam rangka merenggangkan ruas
tulang, sudut dan sendi-sendi. Sedang relaksasi jiwa berupa mengurai benang
kusut kehidupan, merapatkan hubungan kasih sayang yang jarang, melembutkan
kekerasan hati. Terlebih bila di dalam
sujud disertai munajat, tangisan pengaduan kepada sang maha terkasih dan
tersayang. Dengan sujud, jiwa terbebas dari beban jeruji penjara duniawi. Juga,
membangkitkan semangat (spirit) baru yang berkekuatan ilahiah. Berangkat dari
rohani, jasmani menjadi mudah untuk menemukan arah tindakan. Sujud, menjadikan
kehidupan lebih baik dan lebih bermakna (the meaning full).
Sujud sangat spesial dalam agama Allah Swt
yang terakhir. Totally, penghambaan paling puncak tertinggi adalah sujud yang
terendah. Sehingga, banyak para sufi senior (terdahulu) yang ketika sujud, dahi
langsung menyentuh tanah. Tanpa alas tikar, tilam dan karpet. Bukan sekedar
tikar (sajadah) yang menjadi soal debat. Namun, tersampaikah sudah esensial
(hakikat) sujud atau belum? Atau, sujud
hanya kesan inderawi (sensorial) saja.
Fenomena kini, banyak orang salat, masjid
penuh. Tetapi kebanyakan hanya bertujuan melepaskan kewajiban. Tinjauan fikih,
mungkin sah. Namun, belum tentu sah dalam tinjauan tasawuf. Bila sujud malah
menguatkan kemuliaan ego. Artinya, hikmah sujud tidak tercapai. Kendati
demikian, kajian sujud wajib selalu dibahas, demi meraih sujud yang sebenarnya,
bukan kamuflase, bukan imitasi. Maksudnya, tubuh bersujud, hati ingkar.
Sujud adalah pertarungan antara ego (hamba)
dengan super ego (Tuhan), meminjam istilah Sigmund Freud. Fungsi normal dari
kerja Psikoanalisa (Sigmund Freud) adalah super ego yang mengatur ego untuk
menekan id (keinginan rendah). Namun kebermanfaatan sujud tidak sekedar relasi
super ego, ego dan id. Lebih penting, sujud adalah mengalahkan ego dan id.
Justru yang berkuasa mutlak adalah Allah Swt. Sehingga, tuntunan bacaan dalam
sujud adalah: subbana rabiyal a'la wabihamdih (maha suci Tuhanku yang maha
tinggi, dan segala puji-puja untuk-Nya). Tuhan yang mana, bukan Tuhan nama.
Tetapi Tuhan pemilik nama. Ketika Tuhan pemilik nama bisakah Dia dibayangkan.
Jika bisa dibayangkan nama-Nya, pasti bukan Tuhan. Bukan menyembah Tuhan yang
bersifat. Melainkan Dia pemilik sifat. Kalau Dia disebut sifat, pasti bukan
Dia. Apa yang dirasakan dalam beragama, jangan diceritakan seluruhnya. Sungguh,
cerita tidak sanggup mewakili wujud sang pencipta.
Orang yang tidak mau bersujud akan mengalami
kesalahan arah tujuan kehidupan yang sejati (disorientasi). Kehilangan makna
kehidupan setelah semuanya menjadi kaya atau setelah semuanya menjadi miskin.
Tersadar, bahwa tujuan hidup bukan semata-mata mengumpulkan uang dan harta.
Lebih besar lagi dosanya, jika diperoleh dengan cara yang haram seperti riba
(lintah darat), perdagangan narkotik, dan sindikat penjualan anak dan
perempuan.
Manusia bersujud selalu berada dalam rel
tujuan penciptaan. Tujuan penciptaan jin dan manusia telah difirmankan Tuhan:
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah
(mengabdi) kepada-Ku." (Adz-dzariyat: 56).
Bermakna lahir dan batin, dia (sujud) memberi
kesadaran akan tujuan masa depan (future oriented). Kesadaran masa lalu,
kesadaran masa kini, dan kesadaran masa depan adalah kesadaran yang
berkesinambungan (continuous awareness). Ayat kitab suci Alquran menggambarkan
ketiga masa tadi, dalam banyak pemaparan. Baik masa lalu yang harus menjadi pelajaran ('ibrah), masa sekarang adalah kenyataan, maupun masa depan adalah
perancangan. Namun, ketiga kesadaran ini sebenarnya telah berlangsung hari ini.
Banyak kitab suci menyebut bahwa untukmu adalah kenyataan hari ini. Totalitas
aplikasi ketiga masa tersebut terdapat pada diri manusia di dalam (inner).
Bukan kosmologi di luar diri manusia (outer). Kosmologi, epistemologi, axiologi
alam semesta terdapat pada diri manusia. Ontologi keduniaan tersimpan pada diri
manusia. Bahkan, penentuan kebahagiaan dan kesengsaraan akhirat ada pada diri
manusia. Bukan nanti, tetapi sekarang. Bukan kelak, namun hari ini. Kata
"alyauma" yang berarti hari ini, banyak ditemui dalam kitab suci. Itu
menandakan hati manusia sanggup menanggung beban dunia dan akhirat. Hati
manusia sangat luas, ibarat bumi. Di bumi kamu dilahirkan, di bumi kamu akan
menjalani kehidupan, di bumi kamu akan dimatikan. Dan, di bumi pula kamu akan
dibangkitkan.
Terkadang, kitab suci menyelaraskan dan
mengakui adanya tiga dimensi masa tersebut secara rinci. Kerincian yang bertujuan supaya manusia
menyadari kekinian. Bahkan,
kesementaraan di dunia ini (faniyah, duniawiyah). Sebab, mereka adalah
produk masa lalu yang sekarang mereka tempuh. Dan sedang menuju masa depan.
Maksud kitab suci tentang masa depan selain hari tua, lebih dari sebatas hari
tua, yaitu masa akhir (akhirat).
Merugilah mereka yang menghabiskan kesenangan
pada dunia kesementaraan (kamuflase). Bahwa apa yang mereka lihat dan dengar
hanya merupakan efek suara dan efek cahaya pada frekuensi yang damai. Saat
bunyi menyentuh gendang telinga, berefek pendengaran. Dan, saat cahaya
menerangi ruang, selanjutnya menyapa mata, bukankah hanya efek cahaya. Demikian
pula, apa yang disebut cantik, hanya sebatas penilaian subjektif.
Artinya, item kesenangan yang sedang dijalani
oleh kebanyakan manusia, hanya halusinasi. Halusinasi tentang kesenangan yang
dibangun dalam frame berpikir. Mereka (umumnya manusia), menduga berada dalam
balutan kenikmatan, ternyata hanya kesibukan demi kesibukan yang melelahkan
jiwa, sedang mereka tidak menyadarinya. Kesadaran yang hanya berpusat pada
jasadiyah, inderawi, atau kesadaran sensorial saja, masih sangat rendah.
Padahal, masih ada tiga kesadaran diatasnya, yaitu kesadaran intelektual,
emosional dan spiritual. Bila kesadaran hanya pada tahap sensorial, apa bedanya
dengan roh nabati dan roh hewani? Untuk kepentingan kesadaran inilah, ibadah
salat, puasa, zakat dan haji disyariatkan. Atau ego ibadah yang belum sanggup
menepis dan menembus lapisan-lapisan hijab. Menyadari bahwa dunia adalah mimpi,
dan akhirat adalah kenyataan.
Simpul tulisan, sujud sanggup menembus
lapisan, dinding dan benteng hijab yang keras. Hijab terhadap Allah Swt bisa
berbentuk alam semesta yang gelap (kaunuhu dzulm). Sehingga Allah Swt menjadi
yang terhijab (mahjub). Hijab dapat pula dari zat, asma', sifat dan af'al
(perbuatan Allah). Oleh karena itu, jangan menyembah zat, tetapi sembahlah sang
pemilik zat. Jangan menyembah nama, namun sembahlah pemilik nama. Maksimalkan
fungsi mata hati, untuk melihat dengan rasa. Maksimalkan fungsi telinga hati,
untuk mendengar dengan rasa. Lakukanlah, setiap momen mendengar surah sajadah
dibacakan, disunnahkan guna sujud tilawah. Terdapat diempat belas tempat pada
lima belas surah. Sebab dalam surah Alhaj terdapat dua kali perhentian untuk
sujud. Kelima belas perhentian sudah termaktub (tertulis) pada ayat-ayat suci
sajadah. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar