PESAN HIKMAH ALQURAN
PESAN HIKMAH ALQURAN
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Bagi sebagian besar masyarakat yang terbiasa
berpikir konkrit, dan belum terbiasa berpikir abstrak. Penting bagi mereka
untuk menggambarkan kisah-kisah nyata, meskipun hanya simbol yang belum sanggup
dicerna makna disebalik teks sejarah. Mengingat, Alquran sebagai kitab terbuka,
turun untuk semua manusia. Artinya, untuk semua pikiran, perasaan dan zaman.
Mulai dari masyarakat primitif, modern, sampai masyarakat post-modern. Sejak
ilmu pengetahuan berdimensi sensorial, intelektual, emosional, hingga
spiritual, Alquran telah berdialog dengan zaman. Maksudnya, sejauhmana
kebenaran Alquran sanggup dibentang,
sangat tergantung kepada semaksimal mungkin manusia mengembangkan pola
pikir. Artinya, Alquran bukan memberangus pola pikir, dan Alquran tidak
mengkebiri kekuatan akal sehat.
Kurban (Arab: qurban) dapat dimaknai secara
spiritual. Sebuah tataran yang telah melewati kesan dimensi sensorial
(inderawi). Dengan cara, teks-teks agama dan keagamaan harus menyata secara
faktual, dibingkai dalam kisah sejarah. Beragama pada tingkat ini, selalu
menuntut bukti material. Untuk kepentingan doktrin supaya mudah dipercayai,
niscaya banyak tokoh yang terlibat dalam sejarah dan kesejarahan. Kisah kurban
melibatkan nabi Ibrahim, nabi Ismail dan ibunda Hajar. Belum lagi perdebatan,
siapa yang dikurbankan, Ismail atau Ishak? Di bukit Tursina (jabal Thur), atau
di bukit Kurban (jabal Qurban)?
Jika doktrin (ajaran) agama harus menyejarah? Lalu,
bagaimana cara beragama bagi masyarakat pra sejarah, saat baca tulis pada suku
primitif belum ditemukan? Kemudian, jika beragama (salat) harus membayangkan
ka'bah di Mekah, bagaimana menghadap wajah ke kiblat (ka'bah), ketika belum
ditemukan teknologi gambar. Padahal, tatkala beragama bukan gambar, beragama
bukan ka'bah, beragama bukan surga dan beragama bukan neraka, itulah yang
benar. Maka, hapus dan usir kesan sensorial tersebut. Berdasarkan ayat:
"Dia berbeda dengan sesuatu (makhluk)." (Asy-Syura:11).
Tidak bisa dipungkiri, agama langit yang menyejarah
(Yahudi, Nasrani, Islam) sangat bersentuhan dengan kekuatan politik pada
masanya. Tidak jarang, kitab agama dan keagamaan yang dikarang oleh ulama,
rahib, guru, pendeta, pastur adalah pesanan penguasa pada masanya. Baik karena
dibawah tekanan atau upah dari penguasa.
Semakin kosmopolit sebuah masyarakat bangsa, semakin
beragam corak keagamaan mereka. Mulai dari yang konservatif sampai liberal.
Mulai dari paham apologis (merindukan masa kejayaan sahabat Rasulullah) sampai
pragmatis dan apatis terhadap sejarah. Islam mewadahi semua itu, sebagai
realita kehidupan yang tak bisa dihindari. Bahwa kita satu, benar. Dan bahwa
kita berbeda, juga benar.
Alquran penuh dengan ayat (simbol). Dan banyak
manusia yang belum mampu memahami makna yang tersembunyi dibalik simbol.
Kecuali keberanian untuk membongkar pagar-pagar simbol tersebut. Alquran
mengandung makna balaghah, sharih, kinayah, qiyas, nahwu, bayan, burhan, irfan,
sehingga perlu dikaji, sebelum menentukan putusan. Bila tidak, dengan Alquran
manusia semakin jauh dari Allah SWT. Bahkan terhijab, bagi orang yang ingkar,
Alquran hanya menjadi dinding penyekat antara engkau (Muhammad) dengan mereka
(hijaban-mastura). Pengertiannya, Alquran harus dapat dimaknai secara
intelektual, emosional dan spiritual.
Begitu pula dengan puluhan kisah dalam kehidupan.
Buktinya, Alquran menjadi pusat
informasi sejarah kondisi umat terdahulu. Alquran adalah realita yang
berhadapan dengan masa sekarang. Alquran mampu memprediksi zaman yang akan
datang. Jadi, nilai Alquran lebih dari sekadar kitab sejarah. Karena jangkauan
Alquran yang mencakup, memenuhi, meliputi, serta melampaui batas ego alam
semesta.
Dengan pernyataan lain, kisah dalam Alquran tidak
pernah mengalami inflasi zaman. Kisah dalam Alquran tidak pernah mengalami
defisit nilai. Penting, pengembangan pola pikir mendongkrak kebekuan sejarah
dan kisah Alquran, untuk selalu dinalar. Disini, tidak ada batas pengikat akal
sehat, kecuali dikembangkan terus, sampai menemukan puncak kebermaknaan
sejarah. Alquran, bukan semata kisah yang terulang, jika gagal menerima
pencerahan hati. Perlu, pengembangan pola pikir kesejarahan Alquran, mesti
mendobrak kultur pesimis, apatis. Buang rasa takut bertindak karena melawan
tradisi (kebiasaan). Sebaliknya, keberanian tanpa batas sehingga menemukan
pesan moral ideal Alquran, perlu digagas. Pesan moral ideal Alquran selalu
tersembunyi disebalik teks ayat suci, dan tersimpan dalam alunan kisahnya.
Artinya, kitab suci ini, selalu surplus dan primus sepanjang zaman.
Buang rasa harap dengan Alquran karena berharap
rupiah, ringgit, riyal. Orang yang masih berharap, tidak mendapat hikmah
terbesar dari Alquran, kecuali mata uang tersebut. Dua rasa ini, takut merugi
(takut mati), dan berharap untung (cinta dunia) merupakan hijab (dinding tebal)
untuk menembus makna batin kebenaran Alquran. Bila umat terjangkiti dua
penyakit rohani tadi, maka selamanya tidak akan pernah menikmati pesan
kebenaran, ketulusan dan kecintaan. Sebab, cinta Tuhan kepada hamba, dan cinta
hamba kepada Tuhan, merupakan kasta tertinggi dalam beragama. Ibarat "gayung
bersambut." Atau, bagaimana iramanya, begitu juga tariannya. Bukankah alam
semesta, sudah bekerja untuk manusia? Ketulusan hati ialah jawabannya!
Alquran merupakan novelty ketulusan dan kebaruan.
Ketulusan artinya kejujuran Alquran dalam mengungkap fakta kebenaran tanpa
tertinggal rasa takut kepada siapapun. Ketulusan juga diartikan gamblang saat
menjelaskan informasi tentang sebab dan akibat perbuatan manusia, tanpa
menyisakan ingin dipuji manusia, atau khawatir terhadap celaan mereka. Pantas,
karena keberaniannya, Alquran dijadikan pedoman. Kebaruan karena Alquran selalu
hadir menampilkan solusi terbaru, yang terbaik disetiap masa. Artinya, membaca
Alquran sama dengan menyingkap rahasia batin diri sempurna, lembar demi lembar.
Membuka bilik demi bilik hati yang bersih (qalbun salim).
Jadi, pesan hikmah Alquran dapat membaca diri
manusia secara pasti dan tuntas. Tumbuh kelahiran baru bagi pembaca Alquran
disetiap juz yang dikhatamkan, selalu ada rasa yang memberikan kebaruan hidup.
Kasih sayang, semangat, kajian, hubungan dengan Allah dan sesama manusia,
senantiasa bernilai kebaruan. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar