MELAWAN TAKDIR

 


MELAWAN TAKDIR

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

Terkesan judul ini bagus, digjaya, jumawa, atmaja. Apalagi yang membacanya "orang narsis." Melawan, menolak takdir, mungkin betul, mungkin salah. Ketahuilah, sesuatu di alam semesta berangkat dari premis mayor (positif). Barang kali lingkungan dimana kita tinggal telah ikut merubah keadaan yang dahulu baik, menjadi tidak baik. Pendidikan dan pembelajaran yang seharusnya memupuk benih keberanian, namun hanya melahirkan generasi pecundang, pengumpat dan pencela. Artinya, mereka yang berani menentang keesaan pada masa azali, saat mereka telah menjadi manusia dewasa.

Bermula dari tauhid (keesaan) sebagai amanah awal. Berisi pertanyaan dan jawaban sekaligus. Kepastian, sebab untuk beriman tidak perlu waktu lama. Seperti angin yang berhembus dengan cepat membawa kabar gembira (yursilurriyaha busyra), berupa hidayah (petunjuk) yang menyirami hati yang gersang.

Namun, amanah syahadat awal banyak dilupakan orang, abai dan lalai. Sehingga Tuhan mengatakan, jangan menyesal. Karena tidak pernah merasa ketika Tuhan meminta ikrar syahadat tauhid, atau pengakuan keesaan. Pengakuan di masa azali: "Bukankah Aku Tuhanmu? Benar, kami (roh) menyaksikan." (Al-A'raf:172).

Setelah perjanjian keesaan Tuhan, mereka kembali diingatkan oleh para utusan tentang perjanjian di masa azali, namun mereka ingkar. Melawan, menghina, mengusir, bahkan membunuh para utusan Tuhan (Zakaria, Yahya, Isa).

Orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT, dan menghamba kepada materi. Hakekatnya, memenjara diri kepada wujud yang mati, buta, tuli, bisu. Materi yang menjadi tuhan, tuhan yang menjadi materi. Mereka berdua tidak sanggup menciptakan sesuatu, tapi mereka diciptakan. Lalu, orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT meminta kepada sesuatu yang diciptakan, sungguh doa mereka tidak terkabul. Umpama orang yang menepuk air berharap sampai ke mulutnya. Begitu pula 'amal dari 'amil yang beriman, ibarat menjadi mutiara yang tersimpan di dalam laut. Lalu bermanfaat bagi manusia yang hidup di bumi. Adapun amal dan doa orang-orang durhaka, ibarat menjadi buih di pantai. Demikian pelajaran yang diberikan Allah melalui perumpamaan (baca:  Arra'du ayat 17).

Takdir Allah SWT berangkat dari pernyataan premis mayor, tidak bermula dari pernyataan premis minor. Silogisme ini sanggup dibuktikan dari banyak ayat-ayat Alquran. Alquran menanyakan untuk menyadarkan manusia tentang takdir berketuhanan yang maha esa. Maka, apakah kamu tidak berpikir? Apakah kamu tidak ingat? Apakah kamu tidak sadar? Apakah kamu tidak mengenal? Apakah kamu tidak paham? Artinya, kehidupan yang sekarang tidak akan pernah lagi terulang kembali untuk kedua kali. Meskipun orang-orang kafir ingin dikembalikan ke dunia, guna beramal saleh. Tetapi, penyesalan mereka, tidak berguna sama sekali. Hari ini, hari kiamat, hari ketika didekatkan surga, dan dinyalakan api neraka. Hari ketika dihamparkan pengadilan akhirat. Hari tatkala timbangan amal (mizan) berdiri tegak lurus. Hari bila jembatan panjang (shirath) dilewati setiap manusia. Jembatan menuju surga, ditengahnya bergejolak api neraka Jahannam yang menyala. Bila menyesal, menyesal di dunia. Jangan menunggu penyesalan di akhirat. Bila menangis, menangislah sekarang, jangan menunda sampai hari kiamat menyalakan apinya.

Maksudnya, rotasi kehidupan di dunia tidak dapat diulang lagi (no replay). Tuhan tidak pernah merubah janji-Nya. Melainkan manusia yang merubah janji keesaan, artinya melawan takdir. Mereka telah menerima takdir di alam azali. Ketika hadir dimuka bumi, mereka mengingkari perjanjian yang kuat (mitsaq). Sehingga, dalam tebaran ayat suci, ditemukan upaya mengingatkan masa nostalgia perjanjian keesaan (primordial). Mereka melupakan Kami, demikian pada hari ini, Kami melupakan mereka (baca: Taha ayat 126). Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN