MEMAHAMI LEBIH DEKAT KEHIDUPAN MILENIAL
MEMAHAMI LEBIH DEKAT KEHIDUPAN MILENIAL
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
CIRI utama abad ini, ketika kehidupan tidak lagi
menjanjikan "baik-baik saja" untuk kehidupan mendatang. Cukuplah
sekarang, menikmati apa adanya. Tidak hanya karyawan (bawahan) yang dibuat
pusing, teras pimpinan (atasan) juga dibuat pusing. Bagaimana membayar gaji
karyawan yang tidak sesuai dengan realita kebutuhan pokok sehari-hari. Biaya
hidup yang terus menanjak, sedang pendapatan tidak menanjak. Menghadapi kondisi
ini, banyak pemuda yang seharusnya menikah, belum berani nekat mengambil
resiko.
Bagi suami, resiko menikah adalah menafkahi istri.
Menafkahi anak-anak yang lahir dari hubungan mereka. Kini, gaya hidup tidak
sekedar makan dan minum seperti generasi bahula. Hidup dan lingkungan menuntut
gaya rambut, gaya rumah, mobil, travelling, shoping dan lain-lain. Tidak
berlebihan jika angka perceraian meningkat tajam karena motif ekonomi,
perselingkuhan bebas, sampai melebihi batas kewajaran. Delik utamanya, suami
tidak sanggup memenuhi kebutuhan lahir dan batin. Nafkah batin sangat
tergantung kepada asupan lahir. Gizi yang baik, akan melahirkan keturunan yang
baik pula. Gizi buruk berpengaruh terhadap "hubungan ranjang."
Seterusnya, berdampak terhadap kualitas
keturunan, kualitas kesehatan. Pengapuran (osteoporosis) ditulang belakang di
kala tua, akibat kekurangan kalsium saat mengandung, melahirkan, menyusui.
Disamping menemukan pengaturan waktu yang tepat untuk "selalu
berdua." Jika pulang habis isya, dan berangkat sebelum subuh. Maka
sungguh, tubuh hanya menyisakan keletihan, sehingga sangat memengaruhi
"kualitas hubungan."
Bagi istri, dampak langsung menikah adalah menjadi pribadi
yang bebas terikat. Bebas dalam arti, dia bertindak sebagai manusia merdeka,
bertanggungjawab terhadap perbuatan diri sendiri. Keluar dari rumah orang tua
yang dahulu melahirkan, mengasuh, dan merawatnya. Menjadi diri yang terikat
setelah bersuami, alih status menjadi seorang istri dari suaminya. Dan sebentar
lagi berstatus sebagai ibu dari anak-anaknya. Konsekuensi logis yang harus
diambil sebagai dampak menikah. Tidur tidak senyenyak dahulu, jalan tidak
sepuas dahulu, makan tidak sebebas dahulu, minum tidak sesegar dahulu. Bila
tidur terlalu nyenyak, tentu bayi akan kehausan susu. Kalau jalan terlalu jauh,
semakin bertambah kerjaan rumah, tumpukan piring dan gelas kotor semakin
menggunung. Makan tidak sebebas dahulu, pedas level tujuh. Sebab, jabang bayi
akan sakit perut, dan memengaruhi kualitas kesehatan air susu ibu. Minum tidak
sesegar dulu, mulai belajar mengurangi minuman panas dan minuman dingin. Akan
berdampak langsung pada kehamilan dan persalinan.
Bagi anak sebagai pendatang baru, melihat karakter
(watak) yang berbeda dari kedua orang tuanya, tentu olah pikir tersendiri bagi
memahami dua watak yang berbeda. Bisa saja, ibunya sangat narsis. Over acting,
tidak mau kalah, mudah tersinggung, mudah mengamuk. Berbeda dengan watak ayah
yang over protect, mengalah dan cenderung bersikap pembiaran (permisif).
Seorang anak akan bingung berhadapan dengan dua karakter kontra produktif ini.
Tanpa anak mampu mengutarakan, namun dia merasakan.
Sikap ambigu inilah yang akan dibawa anak nanti,
setelah tercapai kedewasaan. Namun, perkembangan kejiwaan, bukan saja
ditentukan oleh variabel tunggal (teori Nativisme) di atas. Ada jamak varian
yang memengaruhi, seperti lingkungan, teman, bacaan, tulisan, pengalaman,
pendidikan dan sebagainya. Faktanya, kedua teori ini memengaruhi tumbuh bangun
seorang manusia dewasa (teori Konvergensi). Memadukan antara teori Nativisme
dan Behaviorisme, melahirkan teori Konvergensi. Bahwa, capacity dan ability
berpengaruh terhadap aksi.
Super easy (kehidupan yang serba mudah) adalah
pilihan, bukan keterpaksaan. Jika pundi-pundi keuangan masih ada, boleh hidup
serba nyaman. Ingat, tidak selamanya hidup ini nyaman dan berpihak. Ada
saatnya, roda pedati berputar ke bawah.
Namun, hidup yang susah wajib disabari. Bila tidak,
angka bunuh diri semakin meningkat, atau jumlah orang dalam gangguan jiwa
bertambah banyak lagi. Kesenjangan antara kenyataan yang dihadapi, dengan
harapan mulus yang belum tentu terjadi. Atau malah terpuruk, terburuk,
terpojok. Buktinya, angka jumlah sarjana setiap tahun yang dihasilkan, belum
sesuai dengan jumlah lapangan kerja yang sanggup menyerap mereka. Andai
terserap, tapi belum sesuai dengan tunjangan hidup yang diidamkan. Saat
berhadapan dengan harga pasar kebutuhan pokok. Ketika biaya listrik yang
mengalami penyesuaian tarif dasar (kenaikan), PDAM, Wi-Fi, akomodasi, dan
transportasi yang semakin membuat hidup lelah, berat dan terbebani.
Papa dan mama muda akan mengalami masa-masa sulit.
Membagi waktu antara keluarga, karier, hobi. Membagi keuangan antara rokok,
susu bayi, beras, kendaraan, biaya rutin, sampai hidangan untuk tamu dan
kebutuhan menjelang hari raya. Pertimbangan ini, menjadi penghalang atau
pendorong bagi sebuah upaya membangun rumah tangga baru. Sebaiknya, menjalani
hidup dalam realita (kenyataan), bukan hidup dalam utopia (khayalan). Hari ini,
pepatah lama berlaku: "Lebih baik makan singkong dalam kenyataan. Daripada
makan keju, tapi mimpi."
Abad milenial ketiga, semua entitas akan terdampak.
Mereka yang sekolah tinggi atau tidak, sama-sama mempertahankan hidup. Sadar
atau tidak, jebakan ujian (fitnah) tersebar di semua lini, hingga pranata
agama. Orientasi mencari kehidupan di dunia, saat semua akses sulit ditembus,
menghalalkan yang haram ikut menjadi bahan pertimbangan. Bisakah ini dilakukan,
saat pekerjaan yang dikerjakan, tidak sesuai dengan upah yang diberikan. Atau,
tidak bekerja sama sekali, saat bursa lapangan kerja tutup. Atau, karyawan
perusahaan dan perkebunan yang banyak "dirumahkan." Fenomena yang
banyak terjadi, saat kebutuhan di luar sekolah, lebih mahal daripada sekolah
itu sendiri (SPP). Ketika kebutuhan di luar kuliah, lebih mahal daripada kuliah
itu sendiri (UKT). Sebab hidup di abad ini, tidak sekedar berkebutuhan. Namun
wajib berkehebatan, berkemampuan, berkemajuan yang didirikan atas dasar
prestasi, unjuk kompetensi, dan kedekatan.
Bila dahulu, pendidikan surau menjadi andalan. Kini,
peran surau kalah saing dengan tawaran menu di smartphone. Dahulu, ketika
membaca Alquran menjadi hobi, kini tilawah Alquran menjadi perlombaan
(musabaqah). Dahulu, masjid menyantuni umat. Kini, masjid disantuni. Dahulu,
beragama dengan cara berkorban waktu, tenaga, biaya, pikiran, perasaan. Dengan
cara menyembunyikan amal. Kini, beragama dengan cara menyatakan amal. Keduanya
baik, bila sanggup menjaga niat hati ikhlas. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar