BELAJAR MENEMUKAN DIRI SENDIRI
BELAJAR MENEMUKAN DIRI SENDIRI
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Jelas Islam, satu-satunya di dunia, syariat yang
melarang umat berpuasa, hari idul adha dan tiga hari tasyrik. Malah, disuruh
bergembira, menikmati lezatnya daging hewan kurban. Sungguh sempurna (kamil)
ajaran ini (Islam). Sungguh lengkap, utuh (syamil) ajaran itu (Islam). Ditarik
pada ranah apapun, dia (Islam) tetap sempurna. Diulur pada tambang apapun, dia
(IsIam) tetap lengkap. Tidak hanya penilaian dari pemeluknya (insider), juga
penilaian dari luar (outsider).
Ajarannya, ada yang menyuruh (murni) taat. Ada
ajaran yang melarang (kesan) taat. Semua yang tanpa ilmu, pasti tertolak pada
gerbang Islam, tidak peduli itu raja, atau ini anak raja. Demikian juga cinta, ada
aturannya. Seperti larangan menikahi dan mengawini saudara kandung, larangan
menikah dengan ibu, bibi (perkawinan sedarah). Atau, larangan menikahi anak
perempuan dari saudara laki-laki. Semua diatur pada hukum mahram yang tertulis
rapi, dalam Alquran kitab suci.
Disini, posisi Islam berciri kamil syamil. Tidak
cukup sebatas hukum melarang dan menyuruh. Terdapat pula hukum sunnah, mandub
(anjuran). Juga hukum yang tidak disenangi (makruh). Dan, hukum boleh (mubah).
Mubah mencakup banyak wilayah praktik kehidupan manusia. Menyikapi secara benar
terhadap kelima hukum ini (ahkamul-khamsah), menjadikan seseorang muslim. Dan
menunaikan kewajiban (wajib) dan anjuran (sunnah). Serta, meninggalkan yang
haram, dan menjauhi yang makruh, menjadikan seseorang mukmin.
Penulis (pengagas) ingin menjelaskan, bahwa hakikat
lebih dahulu datang, daripada syariat. Artinya, yang kita lihat seharian dan
semalaman adalah syariat yang menyata dalam realita. Padahal, hakikat lebih
dahulu ditetapkan, diputuskan di langit. Sebelum Kami (Allah) menerapkannya di
bumi. Secara berangsur-angsur, dalam hitungan jam, hari, pekan, bulan, tahun,
abad. Berdasarkan firman Tuhan yang suci: "Setiap bencana yang menimpa di
bumi dan menimpa dirimu sendiri, semua telah tertulis dalam kitab, sebelum Kami
mendaratkan (mewujudkan semuanya) di bumi. Demikian itu, sungguh mudah bagi
Allah." (Alhadid:22).
Untuk apa, ketika rahasia hakikat dunia, sudah Allah
SWT bongkar. Jangan benci kepada orang yang membenci. Jangan tanyakan kenapa
orang-orang tidak menghargaimu? Jangan marah bila ada orang yang berpaling
darimu, membuang muka. Jangan sesali, bila banyak orang tidak lagi membutuhkan
dirimu? Sebab, engkau siapa? Sejatinya, engkau bukan siapa-siapa, dan bukan
apa-apa. Hanya seonggok daging yang diberi nyawa. Engkau hanya milik Tuhanmu!
Oleh karena itu, Tuhan sudah membongkar rahasia-Nya.
Tentang kehidupan dunia adalah mimpi, akhirat kenyataan. Namun, siapa yang
cepat menyadarinya, kebahagiaan abadi selamanya. Bila gagal paham, pasti
penyesalan. Kesengsaraan yang berkepanjangan, tiada berkesudahan. Untuk
menjelaskan semua itu, Tuhan utus utusan, dan seluruh juru bicara-Nya, setiap
ruang, zaman, dan keadaan. Dengan amar, sembahlah Tuhan yang sejati esa. Jangan
mempersekutukan-Nya dengan siapa dan apa yang ada di langit dan di bumi. Namun,
fokus pada tugas yang diamanatkan kepadamu. Sebab, amanat dari-Ku, telah
ditolak oleh langit, bumi, gunung. Amanah kepemimpinan (khalifah), yang menjadi
potensi dan aktualisasi diri.
Jangan buru-buru, buru-buru dalam menilai orang lain.
Pasti jatuh dalam kubangan fitnah. Terlebih dahulu, konfirmasikan hatimu dengan
hatinya. Sebab hati adalah pusaran perasaan. Rasa adalah rahasia. Tanpa
bertanya, seratus persen kesalahan orang lain, adalah hasil menebak. Tebakan
dalam bahasa agama, disebut dzan. Sebagian besar dzan adalah buruk (su'). Perlu
bicara, guna menghindari buruk sangka.
Hati yang lembut biasa bermain di zona rasa.
Berhatilah lembut! Namun, jangan disama-ratakan, bahwa semua orang sama. Enam
milyar penduduk bumi, satupun tidak ada yang sama. Dari pikiran sampai perasaan
mereka. Jadi, jangan heran, bila yang beragam, berpotensi untuk berbenturan.
Apa yang diperlukan kini, adalah bertahan, jangan menyerang. Menyerang akan
sia-sia, jika tanpa perhitungan. Bertahan memperkuat kuda-kuda. Misal air, bisa
membangun tembok Cina. Dengan air pula, dunia tenggelam. Buktinya, tsunami yang
melanda umat Nabi Nuh yang ingkar. Tsunami melindas Fir'aun dan tentaranya.
Ingat, akan tiba masanya.
Jalan pelepasan, bagaimana rasanya? Dimensi rasa
yang bergelombang, bukan itu? Itu hanya gelombang rasa. Gejolak haru, gembira,
senang, itulah gejolak rasa. Terus, apa yang dituliskan dalam buku, tiada lain,
kecuali, hanya tanda. Bukan rasa itu sendiri. Nama, sifat, ialah tanda. Dengan
nama-Nya, bahwa Dia menciptakan tujuh lapis langit dan bumi. Dengan sifat-Nya,
penuh kasih, sayang, cinta, perhatian, pemeliharaan, pengasuhan. Dengan
perbuatan yang menyata pada diri-Nya, adalah tanda. Setinggi apapun kajian,
tetap terhenti pada tanda (ayah, jamak ayat).
Maka, jangan hentikan penelitian setakat itu. Bila
tidak, penelitian akan gagal. Namun, untuk menjembatani gejolak rasa supaya
tidak gila. Diperlukan jalan tengah (wasathiyah) antara dua karang. Realitas
dan idealitas. Tahu waktunya, kapan terpisah dan kapan tercelup, lebur dalam
keahadiyahan (keesaan). Agar ritme kehidupan santun, damai, aman, makmur,
semesta berjalan serasi. Serasi, merupakan hasil revisi. Lagi, revisi lagi,
berujung keseimbangan. Tidak sekedar masuk (becoming). Tetapi, wajib menjadi
(being). Belajar menemukan diri sendiri! Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar