BUKA BUKU, TUHAN BUKAN BAHARU

 


BUKA BUKU, TUHAN BUKAN BAHARU

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

Bermacam sikap manusia terhadap Allah SWT. Dari mulai mendustakan, sampai terang-terangan memadamkan api cahaya-Nya. Berupa membengkokkan agama-Nya yang lurus. Lalu, melarang manusia pada jalan Allah, dan menghalangi syiar Alquran. Membuat kekacauan dalam agama, menulis hukum agama. Namun, mereka katakan, ini datang dari sisi Allah. Sehingga, agama terpecah-belah, berkelompok dan saling menjauhi. Tidak cukup dengan cara ini, mereka menghukum Allah dan Rasul-Nya. Menghukum Allah SWT dengan meyakini, bahwa Allah memiliki anak laki-laki. Dan mereka beranggapan pasti masuk surga. Jika nanti, mereka masuk neraka, tidak lebih dari beberapa hari saja. Mereka juga menuduh Rasul-Nya, sebagai pendusta dan tukang sihir. Akhirnya, mereka menjadikan Allah sebagai musuh.

Selain itu, ada yang mengambil sikap pertentangan dengan cara meragukan hari kiamat dan hari kebangkitan alam kubur. Ada yang mengimani Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi, namun mereka tidak mau menyembah-Nya.

Memang, dibanyak ayat sudah Tuhan jelaskan tentang tanda-tanda kebesaran-Nya. Tentang bumi luas yang terhampar, langit yang tinggi menjulang tanpa atap. Angin berhembus tanpa mesin, air mengalir secara alami. Maksudnya, bukankah anjuran perbuatan baik, merupakan sifat dasar manusia yang telah menjadi hukum alam (nature of law). Terbukanya hijab dalam rangka, agar manusia menyadari bahwa perbuatan yang dia lakukan, akan kembali kepada dirinya. Tuntutan fitrah yang sudah menjadi perjanjian suci, sejak awal (baca: Arrum ayat 30).

Termasuk beriman, adalah sikap ilmiah dan alamiah. Artinya, melawan iman, sama dengan melawan diri sendiri. Atau mengambil penolong selain Allah, adalah sikap penyimpangan fitrah. Sangat banyak dipaparkan Alquran, bahwa manusia tidak meyakini Allah, sebagai satu-satunya penolong. Sungguh mereka telah terhijab. Padahal, Allah SWT yang menggerakkan semua kerja alam semesta.

Niscaya, kalimah Allah bisa menjadi nama, sifat, perbuatan, diri-Nya. Pilot project keempat unsur tadi, dapat dilihat pada diri utusan (Muhammad SAW) yang bersumber dari Nur-Nya. Maksudnya, Rasulullah SAW merefleksikan nama-Nya, sifat, perbuatan, diri. Atau, Rasulullah SAW adalah pantulan dari cahaya nama-Nya, sifat, perbuatan, diri. Setakat ini sudah jelas, bahwa mendustai dan mendurhakai kenabian dan kerasulan Muhamad SAW ialah sama dengan mendurhakai Allah SWT. Sebab, Rasulullah SAW adalah jalan dan pintu amal. Wajib diyakini, bagi kaum yang beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian (akhirat). Hak pemilik cahaya (hidayah), kebenaran, keadilan,  adalah Allah SWT. Sepemahaman, bahwa cahaya sama dengan hidayah. Bila tidak, kehidupan dunia bagi orang-orang yang ingkar, seperti fatamorgana di tanah yang datar.  Dikira air oleh orang yang dahaga. Tapi apabila dijumpai, tidak terdapat apa-apa. Saat kematian tiba, mereka dihitung Allah dengan sempurna. Dan, Allah maha cepat perhitungannya. Atau, seperti gelap-gulita di lautan yang dalam. Diliputi gelombang demi gelombang. Di atasnya, terdapat awan yang gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir dia tidak dapat melihat telapak tangannya. Siapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak memiliki cahaya sedikitpun (baca: Annur ayat 39-40). Sangat sedih perasaan-ku, membaca ayat ini.

Keimanan tentang keesaan, tidak sekadar meyakini kekuasaan-Nya (tauhid rububiyah). Namun, secara tulus, jujur,  juga harus menyembah-Nya (tauhid 'ubudiyah). Membela-Nya, dan tidak berpaling dari menuhankan-Nya (tauhid uluhiyah). Referensi ayat perihal ini, sungguh sangat banyak ditemukan.

Fenomena pseudo iman ditemukan pada banyak ayat dalam kitab suci. Diantaranya, surah Almukminun, surah Al-Ankabut, surah Arra'du, surah Alhaj. Alhaj, ayat 73: "Wahai manusia, sudah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sungguh, semua yang kamu seru, selain Allah. (Mereka) tidak sanggup menciptakan seekor lalat, meskipun mereka bersatu. Dan jika seekor lalat itu merampas sesuatu dari mereka. Mereka tidak akan dapat merebutnya kembali. Sama lemahnya. Lemah yang menyembah dan lemah yang disembah."

Bila disembah mewujud nama, nama akan hilang. Justru, disebut nama Allah, mereka lupa. "Katakan (Muhammad), milik siapakah bumi, dan semua yang ada didalamnya, jika kamu mengetahui? Mereka menjawab, milik Allah. Katakan, apakah kamu  tidak ingat?" (Almukminun:84-85). Makna batinnya, tidak cukup hanya menyebut nama Allah, tanpa mengenal yang punya nama. Karena, Dia sebatas nama. Sehingga banyak tertipu, ketika manusia hanya sanggup mengatakan, bahwa seluruh alam merupakan ciptaan Allah SWT. Dengan catatan, tersampai  seseorang pada tauhid rububiyah (Tuhan Pencipta). Wajib tersampai pula pada tauhid uluhiyah dan 'ubudiyah. Tauhid uluhiyah adalah keesaan Tuhan yang wajib dimani, sebagai satu-satunya Tuhan. Dan, tauhid 'ubudiyah yang berarti keesaan Tuhan yang wajib diibadahi (disembah).

Ketahuilah, untuk sampai kepada Tuhan yang sebenarnya, Dialah yang bebas dari semua penamaan. Ketika itu, Nabi Yusuf bersabda, saat di penjara, Yusuf menerima wahyu, yang direkam kitab suci Alquran. "Wahai sahabat penjara. Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu? Ataukah Allah yang maha esa? Tidaklah yang kamu sembah selain Dia, kecuali nama-nama yang kamu namakan. Kamu, dan bapak moyangmu, tidak pernah diturunkan oleh Allah, keterangan tentang-Nya. Keputusan hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu, tidak menyembah selain Dia. Itulah agama lurus. Kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf:39-40). Maknanya, Allah SWT tidak sekadar nama, dan tidak sebatas penamaan.

Guna sampai kepada-Nya, jangan Dia disifati oleh makhluk. Terlalu rendah, manusia untuk menyifati sifat-Nya, yang maha tinggi. Terlalu hina, manusia untuk menyifati sifat-Nya, yang maha mulia. Terlalu sempit, manusia untuk menyifati sifat-Nya, yang maha luas. Jelas, Tuhan menerangkan risalah-Nya, bahwa Tuhan tidak bisa disifati. Memang, Dia bukan sifat. Artinya, Allah SWT maha sanggup memberi sifat kepada alam. Tetapi alam, tidak sanggup memberi sifat kepada Allah SWT.  Risalah-Nya berkalam: "Allah tidak mempunyai anak. Dan tidak ada tuhan bersama-Nya. Jika tuhan banyak, masing-masing tuhan akan membawa makhluk ciptaan-Nya, saling mengalahkan satu sama lain. Maha suci Allah, dari apa yang mereka sifatkan! Dialah Tuhan yang maha mengetahui semua yang ghaib, dan semua yang tampak. Maha suci Allah dari semua persekutuan yang mereka persekutukan." (Almukminun:91-92). Maksudnya, membersihkan Tuhan dari segala yang disifati, merupakan ciri mukmin sejati. Menyucikan dan memuji Tuhan, dari nama yang dapat dinamai. Buktinya, surah Alqasas (28), banyak mengisahkan realitas Qarun, Fir'aun, Haman. Ketiganya pemegang otoritas kekayaan, otoritas kerajaan, otoritas keilmuan. Namun, oleh nalar Alquran, mereka adalah penyihir lagi pendusta. Niscaya, Allah SWT pasti mengalahkan mereka. Qarun, Fir'aun, Haman, mereka pasti mati. Akhirnya, seluruh materi kisah mereka, ditutup pada ayat 88: "Dan jangan engkau sembah tuhan yang lain, selain Allah. Tidak ada Tuhan kecuali Dia. Hancur (binasa) sekalian yang ada, Kecuali wajah-Nya. Bagi-Nya kewenangan mutlak. Dan, hanya kepada-Nya, kamu dikembalikan."

Bahkan, sekira Tuhan yang maha pengasih memiliki anak laki-laki. Lantas, aku (Muhammad) yang terawal menyembah-nya. Maha suci Tuhan langit dan bumi. Tuhan pemilik arasy dari apa-apa yang mereka sifatkan (baca: Azzukhruf ayat 81-82). Lalu, bagaimana cara bertuhan yang benar? Jika Dia bukan nama, dan Dia bukan sifat! Dia bukan perserikatan, Dia bukan persekutuan, Dia bukan himpunan, Dia bukan perkongsian! Jangan menyembah nama! Jangan menyembah sifat!

Pahami ini, mereka yang mudah mengatakan nama Allah tanpa ilmu, tanda tidak beriman! Allah SWT rekam jejak mereka dalam ayat. "Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka. Siapakah yang menciptakan mereka?  Niscaya mereka menjawab, Allah! Lalu, bagaimana mereka dapat dipalingkan? Berkata dia (Muhammad): " Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak beriman. Maka, berpalinglah dari mereka, dan katakan: "Selamat tinggal." Kelak, mereka akan mengetahui, nasib buruk yang menimpa." (Azzukhruf:87-89).

Lalu, bagaimanakah cara beragama yang benar, tulus dan murni? Berserah diri dan tanpa mendebat-Nya, bentuk beragama Nabi Ibrahim, sang kekasih-Nya, sahabat setia Allah (khalilullah). Ikutan para semua utusan, hingga Rasulullah Muhammad SAW. Firman Allah SWT: "Dialah yang hidup kekal, tidak ada tuhan selain Dia. Maka sembahlah Dia, dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam." (Ghafir:65). Telah diketahui, Dia Tuhan yang sebenar, sejati (baca: Al-Ikhlas ayat 1-4). "Katakan, Dia Allah esa. Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada satupun yang setara dengan Dia." Diperkuat oleh pernyataan firman, surah Asysyura ayat 11. Menunjukkan, alam semesta bersifat dualitas dan disparitas. Namun, Tuhan tidak sanggup untuk disifati oleh alam yang lemah, gelap, gulita (alkaunu dzulm). "Dia tidak seumpama dengan sesuatu. Dan, Dia maha mendengar, maha melihat."

Finalti ketuhanan yang maha esa, adalah Dia yang ghaib. Mutlak keghaiban-Nya, yang tidak bisa dibaca tulisan, yang tidak sanggup ditorehkan oleh kampas. Menjadi ciri orang-orang yang bertakwa. "Mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan mereka menafkahkan dari apa-apa yang Kami beri rezeki kepada mereka." (Albaqarah:3). Demikian, Alquran diturunkan untuk orang-orang yang takut kepada yang maha pengasih. Meski ghaib (tidak tampak). Berikan kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. Berupa surga dan tambahan kenikmatan (jannah wazziyadah).

Awal dan akhirnya, dalam keghaiban-Nya, kita beriman, dan dalam keghaiban-Nya, kita ingkar. Dalam keghaiban-Nya, salat didirikan. Dalam keghaiban-Nya, salat ditinggalkan. Itulah Tuhanmu yang sejati benar. Berserah diri kepada-Nya, adalah jalan pelepasan yang paling tepat. Kecuali itu, jalan ini, adalah jalan sepi para sufi. Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN