KECERDASAN BERAGAMA MELAMPAUI BATAS LOGIKA (BELAJAR DARI NABI IBRAHIM)
KECERDASAN BERAGAMA MELAMPAUI BATAS LOGIKA (BELAJAR
DARI NABI IBRAHIM)
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Ada yang menarik, bahwa siapa yang menolak
agama moyangmu, Nabi Ibrahim, tanda
kebodohan jiwa (safiha nafsah). Safih merupakan sketsa pribadi yang kurang akal.
Padahal, mulanya, Nabi Ibrahim sangat rasional. Terbukti, saat beliau mencari
Tuhan yang berawal dari pengamatan (observasi) terhadap bintang, bulan,
matahari. Ternyata, bintang bukan Tuhan, bulan bukan Tuhan, matahari bukan
Tuhan. Bila ciptaan Tuhan yang besar saja, tidak boleh dituhankan dan
dituankan, apalagi manusia yang kecil, lemah, lunglai. Tentu, Nabi Ibrahim
harus mencari Tuhan yang maha besar, lebih besar daripada matahari. Untuk
sampai ke titik ini, itulah tugas Nabi Ibrahim, khalilullah (sahabat
setia-Nya).
Kalau logika belum terlampaui, tidaklah Nabi Ibrahim
mampu, masuk ke dalam gundukan gunung api yang dibangun oleh Namrud, raja zalim
Babilonia. Jika kecerdasan beragama Nabi Ibrahim, tidak melampaui batas logika,
bukan disebut Nabi Ibrahim sehingga "tega" menyembelih puteranya.
Bukan sang kekasih Tuhan, bila belum sanggup meninggalkan istri dan bayinya di
gurun pasir, yang tidak ada siapapun dan tidak ada apapun. Semua ukuran-ukuran
logika tersebut, telah ditempuh dan terlewati oleh Ibrahim. Ternyata, perayaan
idul adha (hari raya agung), telah menyimpan kisah heroik, keberanian,
kebenaran, kejujuran yang menang. Menang dari melawan sikap keculasan,
ketakutan, kebatilan, kebohongan, dari Namrud dan persekutuannya. Kebenaran
pasti menang, kebatilan pasti musnah.
Banyak ayat dalam Alquran, melarang beriman dalam
keraguan, dan melarang menyimpan keraguan di dalam iman. Jika beriman,
berimanlah. Maka, jika ragu kepada Allah SWT, kafir sajalah! Sebagai contoh,
peristiwa isra' miraj telah membagi umat ke dalam empat bagian besar manusia.
Beriman tanpa tanya (mukmin-shiddiq, mukmin-haqqa). Beriman setelah bertanya
(mukmin). Ragu (kafir). Tidak percaya (sangat kafir). Bobot (kadar) penilaian
ini, bernilai tersendiri di mata Allah SWT, Alhasib (maha menghitung).
Jalan iman, tidak semulus yang dibayangkan. Untuk menebus harga iman, Nabi Ibrahim rela dibakar. Untuk menebus nilai iman, Masyitah dan keluarga, rela direbus di dalam minyak yang mendidih, atas kekejaman Fir'aun. Untuk menebus Ahad, Bilal bin Rabah tabah dibakar oleh panas terik matahari, dan ditimpa batu besar.
Ternyata, ujian yang sedikit di dunia, untuk
orang-orang yang beriman. Niscaya, berbuah pahala yang besar. Kecerdasan di atas logika inilah, yang telah
ditanam Nabi Ibrahim ke dalam hati umat, yang berjalan lurus pada agama Allah
SWT (tauhid, keesaan). Sangat banyak dijelaskan Alquran, bahwa corak beragama
Nabi Ibrahim, adalah agama berserah diri. Berangkat dari pengalaman hidup
sehari-hari, telah mengantarkan Nabi Ibrahim, kepada ungkapan "aslamtu
lirabbil 'alamin" (aku berserah diri kepada Tuhan pemelihara alam
semesta). Pengalaman hidup yang sangat menyayat hati Ibrahim, saat beliau gagal
mengislamkan sang ayahnda tercinta, Azar. Sama dengan Nabi Muhammad SAW, ketika
gagal mengislamkan sang pamanda tercinta, Abu Talib. Bukankah
pengalaman-pengalaman ini, itu yang menjadi sebab seseorang lebih dewasa
beragama. Dalam arti, mengambil sikap berserah diri, dan diri yang berserah,
pasrah. Bagaimana dengan Islamku, Islammu, dan Islam kita? Masih tegak ego
menang, yang tidak mau kalah. Ego untung, yang tidak mau rugi. Dan, masih
banyak ego-ego lain, termasuk ego kecerdasan. Ego kekuasaan, ego kekayaan, ego
kekuatan.
Ego Nabi Ibrahim menyadari, bila beliau melawan
super ego Tuhan. Niscaya Nabi Ibrahim musnah, berhadapan dengan keagungan-Nya,
Aljalal. Menyerah dan kalah dihadirat keagungan-Nya dan keindahan-Nya,
merupakan pilihan kecerdasan yang diambil. Ketika itu, adalah kecerdasan di
atas langit logika. Akhirnya, Nabi Ibrahim menjadi teladan dan sebutan kebaikan
untuk generasi sesudahnya. Salamun 'ala Ibrahim. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar